Rabu, 19 Agustus 2009

Bioetanol sebagai Energi Alternatif

Bioetanol sebagai Energi Alternatif
Oleh: Wahid Rahmanto (wartawan senior)
Sumber: Indonesiaenergywatch.com

Krisis energi yang melanda berbagai belahan dunia, sudah lama diprediksi para pakar. Maklum, minyak bumi (fossil fuel) adalah bahan bakar yang tak dapat diperbarui. Cepat atau lambat, minyak dunia akan habis. Saat ini, kebutuhan akan minyak melonjak begitu luar biasa. Karena itu tak mengherankan jika harganya juga ikut melambung. Di pasar dunia misalnya, beberapa bulan lalu, harga minyak bumi sempat melewati US$ 100 per barrel. Kendati harga perlahan kembali turun, namun ke depan, jika negara-negara di dunia tak segera mengantisipasi kelangkaan fossil fuel, harga minyak akan kembali melonjak.

Saat ini, peranan BBM sudah mencapai 63% dalam pemakaian energi final nasional-2003. Indonesia yang dulu menjadi negara pengekspor minyak, sejak tahun 2004 berubah menjadi negara pengimpor minyak. Pada tahun 2004 Indonesia mengimpor minyak 487 ribu barel/hari. Sementara itu harga minyak dunia terus mengalami peningkatan harga. Hal ini jelas akan menggoyang perekonomian nasional.

Struktur APBN masih bergantung pada penerimaan migas dan subsidi BBM. Naiknya harga minyak dunia mengakibatkan membengkaknya subsidi BBM. Kebijakan pengurangan subsidi BBM yang diterapkan pemerintah akhirnya berakibat pada meningkatnya biaya-biaya perekonomian masyarakat.

Akibat penggunaan bahan bakar fossil ini, Indonesia menjadi pecandu minyak nomor satu di dunia. Sumberdaya alam yang tak bisa diperbaharui ini dieksploitasi dari dalam perut bumi untuk konsumsi industri, transportasi, dan rumah tangga. Sisa pembakarannya adalah CO, CO2, NO2, Pb, dan logam-logam berat lainnya dalam komposisi lebih kecil. Bahan-bahan berbahaya dan beracun tersebut, mencemari tanah, air, udara dan lapisan ozon, menyebabkan pemanasan global, kerusakan lingkungan dan mengganggu kesehatan, seperti infeksi saluran pernafasan, iritasi mata, dan lain-lain.

Kondisi sebaliknya justru terjadi di negara-negara maju yang berupaya keras untuk mencari energi alternatif dan mulai mengurangi konsumsi energi dari sektor migas dan beralih ke bio electric, bio gas, bio etanol dan bio diesel. Brazil merupakan negara terbesar penghasil bio etanol berhasil menekan angka pencemaran lingkungan hingga 50% per tahun.

Salah satu alternatif BBM non fossil adalah bio etanol yang bisa dihasilkan dari singkong. Bahan baku tersebut kita pilih karena selain harganya terjangkau, ketersediaannya juga cukup berlimpah di negeri ini. Beberapa penelitian yang didukung dan dibuktikan oleh indsutri bio etanol skala rumahan, menunjukkan bahwa untuk menghasilkan satu liter bioetanol kadar 99,5 persen dibutuhkan 6,5 kilo singkong. Artinya, jika harga singkong Rp 400 per kilo maka dibutuhkan Rp 2.600 modal bahan baku untuk menghasilkan 1 liter bioetanol. Ditambah dengan biaya operasi, menurut seorang produsen skala rumahan di Sukabumi, menjadikan biaya produksi setiap liter bioetanol berkisar Rp 3.500 – Rp 4.000. Saat ini harga etanol di pasaran berkisar antara Rp 7.000 – Rp 10.000 perliter.

Pasar etanol ternyata sangat luas. Seorang produsen di Sukabumi, Jawa Barat misalnya mengaku bisa memproduksi 2.100 liter etanol per bulan. Dari jumlah itu, 300 liter dijual ke pengecer premium, dan 800 liter lainnya dijual ke industri kimia. Harga per liter etanol itu, Rp 10 ribu. Dari bisnis ‘energi’ yang berasal dari singkong itu, dia mendapatkan omzet 21 juta per bulan. Seorang produsen bahkan mengatakan kesulitan memenuhi permintaan etanol dari industri kimia. Pendek kata, berapa pun jumlah yang diproduksi, pasti habis terserap pasar.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa pengecer premium mau membeli etanol seharga Rp 10 ribu per liter? Ternyata, pasar itu tercipta dari pengalaman tukang ojek di Cicurug, Sukabumi. Premium yang dicampur 5-10 persen alkohol, angka oktannya naik. Kendaraan makin bertenaga dan bahan bakarnya makin hemat 20-30 persen.

Sebuah penelitian menunjukkan, dengan campuran bioetanol konsumsi bahan bakar semakin efisien. Mobil E20 alias yang diberi campuran bioetanol 20%, pada kecepatan 30 km per jam, konsumsi bahan bakar 20% lebih irit ketimbang mobil berbahan bakar bensin. Jika kecepatan 80 km per jam, konsumsi bahan bakar 50% lebih irit. Hal ini cukup masuk akal karena pembakaran makin efisien sebab etanol lebih cepat terbakar ketimbang bensin murni. Sehingga semakin banyak campuran bioetanol, proses pembakaran kian singkat.

Pembakaran sempurna itu gara-gara bilangan oktan bioetanol lebih tinggi daripada bensin. Nilai oktan bensin (premium) di Indonesia saat ini cuma 87-88. Bila kedua bahan itu bercampur, meningkatkan nilai oktan.

Contohnya penambahan 3% bioetanol akan mendongkrak nilai oktan 0,87. Dari beberapa penelitian terbukti bahwa kadar 5% etanol pada premium akan meningkatkan nilai oktan menjadi 92 sampai 94.

Makin tinggi bilangan oktan, bahan bakar makin tahan untuk tidak terbakar sendiri sehingga menghasilkan kestabilan proses pembakaran untuk memperoleh daya yang lebih stabil. Campuran bioetanol 3% saja, mampu menurunkan emisi karbon monoksida menjadi sekitar 1,35%. Bandingkan bila kendaraan memanfaatkan premium, emisi senyawa karsinogenik alias penyebab kanker itu 4,51%. Nah, ketika kadar
bioetanol ditingkatkan, emisi itu makin turun. Program langit biru yang dicanangkan pemerintah pun lebih mudah diwujudkan. Dampaknya, masyarakat kian sehat. (*)

1 komentar:

  1. dari ulasan yang bapak sampaikan di atas saya jd tertarik untuk memproduksi etanol, tapi saya masih binggung untuk pemasarannya. mohon informasi untuk pemasaran bioetanol nya ya pak, bisa di kirimkan ke e mail saya : saffa_02@yahoo.com

    BalasHapus