Rabu, 19 Agustus 2009

Mesin Produksi Bioethanol Ekonomis

Mesin Pengolah Bioethanol Ekonomis
Terbuat dari Drum sehingga murah Harganya.

Mesin Destilasi Bioetanol kapasitas 500 ltr/Hari.




Tanki Fermentasi Bioethanol berbahan Singkong Gendruwo.

Mesin Destilasi Bioethanol I, 4Tungku (dengan 4X2 drum). Kapasitas 500ltr/8jam (destilasi I).
Mesin Destilasi Bioethanol II (Pemurnian) 1 Tungku dengan 1 Tabung Stainless.
Harga 1 set Rp 75.000.000,-


Info: Tristar Machinery
Jln. Rungkut Mapan Utara CA24
Telp: 031-8708071
Fax: 031- 8722794
Contact Person :
Mustofa 031-60350888.
Bpk Suluh 085850764737.
Ali Fakih : 031-77213905.

Kursus Bioethanol dari Bahan Singkong & Bahan yang lainnya
Biaya Kursus Privat Rp 1.000.000,-
Biaya Kursus Kolektif Rp 300.000,-/orang. Minimum peserta 5 orang.

CV. Tristar Chemical
biological-supply
utk pemesanan biological supply bioethanol (READY STOCK):
1/enzim alfa - Liquefaction Enzyme =Rp 75rb /botol 500gr (Bacillus Licheniformis)

2/enzim gluko - Saccharifaction enzyme =Rp 85rb /botl 500gr (Aspergillus niger)

3/ragi etanol = Rp 75rb / pak 500gr (Saccharomyces cerevisiae)
Harga bisa berubah sewaktu waktu tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.


Juga menjual: alat ukur,lab tools (spg meter utk ukur kadar pati,
alkohol meter utk ukur kadar alkohol pd bioetanol,
brix meter utk ukur kadar gula, pH meter utk ukur kdr
ph sewaktu fermentasi, dll):

Hubungi:
Kursus Bioetanol Tristar
Contact person: Ibu Lutfiana
Flexi; 031-71933131.
Fax; 031-8722794.
Tristar Chemical Surabaya
Jl. Rungkut Mapan Utara CA 24 Surabaya
Email : tristarchemical@yahoo.co.id

EFISIENSI KOMPOR BIOETANOL MENCAPAI 54 PERSEN

EFISIENSI KOMPOR BIOETANOL MENCAPAI 54 PERSEN

Sumber : LPPM ITS, ITS Online


Surabaya – Kompor bio-etanol terbukti lebih efisien ketimbang kompor kerosin. Hal ini terungkap dalam penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) ITS. Dari data pengujian terhadap kompor, ditemukan bahwa efisiensi kompor bio-etanol sebesar 54 persen. Sementara kompor kerosin atau minyak tanah hanya 49 persen.

Ketua LPPM Prof Ir. I Nyoman Sutantra MSc PhD menyatakan LPPM memang menugaskan tim Pusat Studi Energi dan Rekayasa untuk mengkaji bio-etanol dan kompornya. “Sesuai dengan bidangnya, kajian ini dilakukan dibawah tim tersebut,”ujarnya. Ada tiga kajian utama yang dilakukan sehubungan dengan energi alternatif tersebut. Yaitu yang pertama kajian budidaya dan varian bahan baku bioetanol, kedua tentang proses pembuatan etanol, dan yang ketiga adalah desain kompor.

Sesuai dengan MoU yang telah dilakukan dengan Pemkab Sidoarjo, ITS memang bertanggung jawab untuk melakukan pengembangan bio-etanol ini.”Baik dari segi budidaya bahan baku, proses, sampai ke desain kompornya,”ujarnya. Sementara ini, seluruh proses dan kompor yang ada saat ini adalah hasil dari Koperasi Manunggal Sejahtera, Jogjakarta.

Dari pengkajian sample bio-etanol BE40 di laboratorium Jurusan Kimia ITS, didapatkan hasil bahwa kalor BE40 adalah 5270 kKal/kilogram. Dibandingkan dengan kalor kerosin, BE 40 ini hanya sekitar separuhnya . “Kalor kerosin mencapai 10322 kKal/kilogram,”terangnya.

Hasil pengkajian kedua adalah titik nyala. Titik nyala BE 40 adalah 150 derajat Celsius, dan titik nyala kerosin 48 derajat Celsius. “Karakteristik titik nyala etanol sekitar 14 derajat Celsius. Jadi BE 40 ini lebih sulit menyala,”tambahnya. Selain itu, dari pengkajian ini didapatkan hasil kandungan air dalam BE 40 ini mencapai 9 persen. Sehingga, kandungan etanolnya sekitar 91 persen.

Sutantra menyatakan ITS juga melakukan kajian di luar laboratorium Kimia. Dari hasil pengujian praktis ini menunjukan waktu nyala per liter etanol adalah enam jam. Sedangkan per liter kerosin hanya dua jam. Namun nilai kalor besar kecilnya api bergantung pada faktor-faktor lain yang belum dikaji. “Seperti misalnya sumbu kompor, hingga geometric lubang apinya,” katanya.

Dijelaskan Sutantra, pembakaran kompor sempurna ditandai dengan nyala api yang berwarna biru. “Jika pembakarannya tidak sempurna, warna apinya tidak bisa biru,”pungkasnya. Selain melakukan pengkajian ini, kedepan ITS akan membuat studi fisibilitas tentang kompor bio-etanol ini baik dari segi teknik maupun ekonomis.

Sumber : LPPM ITS, ITS Online

Bioetanol sebagai Energi Alternatif

Bioetanol sebagai Energi Alternatif
Oleh: Wahid Rahmanto (wartawan senior)
Sumber: Indonesiaenergywatch.com

Krisis energi yang melanda berbagai belahan dunia, sudah lama diprediksi para pakar. Maklum, minyak bumi (fossil fuel) adalah bahan bakar yang tak dapat diperbarui. Cepat atau lambat, minyak dunia akan habis. Saat ini, kebutuhan akan minyak melonjak begitu luar biasa. Karena itu tak mengherankan jika harganya juga ikut melambung. Di pasar dunia misalnya, beberapa bulan lalu, harga minyak bumi sempat melewati US$ 100 per barrel. Kendati harga perlahan kembali turun, namun ke depan, jika negara-negara di dunia tak segera mengantisipasi kelangkaan fossil fuel, harga minyak akan kembali melonjak.

Saat ini, peranan BBM sudah mencapai 63% dalam pemakaian energi final nasional-2003. Indonesia yang dulu menjadi negara pengekspor minyak, sejak tahun 2004 berubah menjadi negara pengimpor minyak. Pada tahun 2004 Indonesia mengimpor minyak 487 ribu barel/hari. Sementara itu harga minyak dunia terus mengalami peningkatan harga. Hal ini jelas akan menggoyang perekonomian nasional.

Struktur APBN masih bergantung pada penerimaan migas dan subsidi BBM. Naiknya harga minyak dunia mengakibatkan membengkaknya subsidi BBM. Kebijakan pengurangan subsidi BBM yang diterapkan pemerintah akhirnya berakibat pada meningkatnya biaya-biaya perekonomian masyarakat.

Akibat penggunaan bahan bakar fossil ini, Indonesia menjadi pecandu minyak nomor satu di dunia. Sumberdaya alam yang tak bisa diperbaharui ini dieksploitasi dari dalam perut bumi untuk konsumsi industri, transportasi, dan rumah tangga. Sisa pembakarannya adalah CO, CO2, NO2, Pb, dan logam-logam berat lainnya dalam komposisi lebih kecil. Bahan-bahan berbahaya dan beracun tersebut, mencemari tanah, air, udara dan lapisan ozon, menyebabkan pemanasan global, kerusakan lingkungan dan mengganggu kesehatan, seperti infeksi saluran pernafasan, iritasi mata, dan lain-lain.

Kondisi sebaliknya justru terjadi di negara-negara maju yang berupaya keras untuk mencari energi alternatif dan mulai mengurangi konsumsi energi dari sektor migas dan beralih ke bio electric, bio gas, bio etanol dan bio diesel. Brazil merupakan negara terbesar penghasil bio etanol berhasil menekan angka pencemaran lingkungan hingga 50% per tahun.

Salah satu alternatif BBM non fossil adalah bio etanol yang bisa dihasilkan dari singkong. Bahan baku tersebut kita pilih karena selain harganya terjangkau, ketersediaannya juga cukup berlimpah di negeri ini. Beberapa penelitian yang didukung dan dibuktikan oleh indsutri bio etanol skala rumahan, menunjukkan bahwa untuk menghasilkan satu liter bioetanol kadar 99,5 persen dibutuhkan 6,5 kilo singkong. Artinya, jika harga singkong Rp 400 per kilo maka dibutuhkan Rp 2.600 modal bahan baku untuk menghasilkan 1 liter bioetanol. Ditambah dengan biaya operasi, menurut seorang produsen skala rumahan di Sukabumi, menjadikan biaya produksi setiap liter bioetanol berkisar Rp 3.500 – Rp 4.000. Saat ini harga etanol di pasaran berkisar antara Rp 7.000 – Rp 10.000 perliter.

Pasar etanol ternyata sangat luas. Seorang produsen di Sukabumi, Jawa Barat misalnya mengaku bisa memproduksi 2.100 liter etanol per bulan. Dari jumlah itu, 300 liter dijual ke pengecer premium, dan 800 liter lainnya dijual ke industri kimia. Harga per liter etanol itu, Rp 10 ribu. Dari bisnis ‘energi’ yang berasal dari singkong itu, dia mendapatkan omzet 21 juta per bulan. Seorang produsen bahkan mengatakan kesulitan memenuhi permintaan etanol dari industri kimia. Pendek kata, berapa pun jumlah yang diproduksi, pasti habis terserap pasar.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa pengecer premium mau membeli etanol seharga Rp 10 ribu per liter? Ternyata, pasar itu tercipta dari pengalaman tukang ojek di Cicurug, Sukabumi. Premium yang dicampur 5-10 persen alkohol, angka oktannya naik. Kendaraan makin bertenaga dan bahan bakarnya makin hemat 20-30 persen.

Sebuah penelitian menunjukkan, dengan campuran bioetanol konsumsi bahan bakar semakin efisien. Mobil E20 alias yang diberi campuran bioetanol 20%, pada kecepatan 30 km per jam, konsumsi bahan bakar 20% lebih irit ketimbang mobil berbahan bakar bensin. Jika kecepatan 80 km per jam, konsumsi bahan bakar 50% lebih irit. Hal ini cukup masuk akal karena pembakaran makin efisien sebab etanol lebih cepat terbakar ketimbang bensin murni. Sehingga semakin banyak campuran bioetanol, proses pembakaran kian singkat.

Pembakaran sempurna itu gara-gara bilangan oktan bioetanol lebih tinggi daripada bensin. Nilai oktan bensin (premium) di Indonesia saat ini cuma 87-88. Bila kedua bahan itu bercampur, meningkatkan nilai oktan.

Contohnya penambahan 3% bioetanol akan mendongkrak nilai oktan 0,87. Dari beberapa penelitian terbukti bahwa kadar 5% etanol pada premium akan meningkatkan nilai oktan menjadi 92 sampai 94.

Makin tinggi bilangan oktan, bahan bakar makin tahan untuk tidak terbakar sendiri sehingga menghasilkan kestabilan proses pembakaran untuk memperoleh daya yang lebih stabil. Campuran bioetanol 3% saja, mampu menurunkan emisi karbon monoksida menjadi sekitar 1,35%. Bandingkan bila kendaraan memanfaatkan premium, emisi senyawa karsinogenik alias penyebab kanker itu 4,51%. Nah, ketika kadar
bioetanol ditingkatkan, emisi itu makin turun. Program langit biru yang dicanangkan pemerintah pun lebih mudah diwujudkan. Dampaknya, masyarakat kian sehat. (*)

ITS Temukan Bio-ethanol Pengganti Minyak Tanah

ITS Temukan Bio-ethanol Pengganti Minyak Tanah
Sumber: Surabaya, (ANTARA News) -

Peneliti ITS Surabaya menemukan bio-ethanol dari singkong, atau bahan berkarbohidrat tinggi lainnya untuk menggantikan minyak tanah.

"Bio-ethanol itu sangat hemat, karena satu liter minyak bio-ethanol setara dengan sembilan liter minyak tanah biasa", kata peneliti bio-ethanol, Ir Sri Nurhatika MP di Surabaya, Kamis.

Didampingi Pembantu Rektor (PR) IV ITS Surabaya, Prof Ir Eko Budi Djatmiko, ia mengatakan, harga satu liter bio-ethanol Rp10.000, sedang sembilan liter minyak tanah berkisar Rp27.000 dengan asumsi harga Rp3.000/liter.

"Tidak hanya itu, bio-ethanol juga dapat dibuat sendiri oleh masyarakat, karena bahan pembuatan ethanol dapat ditemukan di pasar dan cara pembuatannya pun mudah", katanya mengungkapkan.

Menurut dia, ethanol dapat dibuat dari bahan yang mengandung karbohidrat, diantaranya ubi kayu, walur, kelapa sawit, tetes tebu, kacang koro, limbah tahu, limbah sampah, dan sebagainya.

"Bahan paling ideal adalah ubi kayu yang di Jawa dikenal dengan sebutan singkong gendruwo, karena tingkat karbohidrat-nya cukup tinggi. Singkong gendruwo juga mengandung pati (racun) yang tak layak dikonsumsi," katanya menambahkan.

Cara pembuatannya, kata dosen senior Biologi ITS Surabaya itu, singkong gendruwo itu ditumbuk halus, kemudian dimasak dengan panci sampai menjadi bubur.

"Hasilnya diberi ragi (proses fermentasi) dan didiamkan selama 4-5 hari sampai keluar ethanol-nya dengan kadar 90 persen. Kami menyebutnya dengan minyak tanah BE.40", katanya.

Namun, kadar ethanol 90 persen itu belum cukup untuk berfungsi seperti minyak tanah, sebab kadar ethanol yang dibutuhkan adalah 95 persen. Karena itu, perlu ditingkatkan.

"Kalau kadar ethanol-nya di bawah 95 persen masih mengandung Pb (timbal), sedangkan bahan bakar harus bebas dari Pb, sebab kalau ada Pb-nya bisa meledak", katanya menegaskan.

Untuk menaikkan kadar ethanol itu, katanya, perlu ditambahkan batu kapur (gamping), sehingga ethanol-nya menjadi "bersih" dari Pb.

Selain itu, kompor minyak tanah bio-ethanol itu juga tidak bersumbu, sehingga dirinya bekerja sama dengan peneliti Teknik Mesin ITS Surabaya untuk membuat desain kompor bio-ethanol.

"Hasil desain Teknik Mesin ITS itu akhirnya kami kerjasamakan dengan Koperasi Manunggal Sejahtera Yogyakarta, untuk memproduksi kompor tanpa sumbu yang harganya Rp40.000", katanya.

Oleh karena itu, minyak tanah bio-ethanol tidak hanya ekonomis, tapi juga terbukti tanpa jelaga.

"Mungkin pemanasan minyak bio-ethanol yang agak lama. Misalnya, untuk memasak mie, kompor minyak tanah biasa hanya membutuhkan waktu 10 menit, sedangkan kompor bio-ethanol 2-3 menit lebih lama", katanya.

Pabrik Pengolahan bio - ethanol berbasis UMKM di Kebumen.

abrik Pengolahan bio - ethanol berbasis UMKM di Kebumen.
Sumber; Kompas.com

KEBUMEN, SENIN - Pabrik pengolahan bio-ethanol berbasis usaha kecil menengah (UKM) mulai dioperasikan di Desa Munggu, Kecamatan Petanahan, Kabupaten Kebumen, Senin (26/5). Pabrik yang dijalankan oleh PT Bio Prima Energi Mandiri itu dapat menghasilkan 3.000 liter bio-ethanol setiap harinya dengan menggunakan bahan baku tebu, jagung, dan singkong.

Direktur Utama PT BPEM Dani Hidayat mengatakan, untuk saat ini hingga Juni mendatang pihaknya masih menggunakan bahan baku tebu yang dipasok dari Perkebunan Pabrik Gula Madukismo di Yogyakarta. "Baru bulan Juni besok, kami akan menggunakan jagung sebagai bahan baku bio-ethanol. Saat ini kami masih menggunakan tebu yang sudah jelas pasokannya dari Madukismo," katanya.

Bahan baku pembuatan bio ethanol itu, lanjutnya, bisa berganti-ganti sesuai persediaan yang ada di pertanian. Namun untuk Kebumen, diupayakan akan menggunakan jagung secara optimal. "Kalau tebu sudah tak panen, bisa diganti dengan jagung. Begitu juga kalau jagung dan tebu sedang tak panen, bisa digantikan dengan singkong," katanya.

Dalam sambutannya, Bupati Kebumen, Rustriningsih, mengatakan, Kebumen memang memiliki potensi yang cukup besar untuk pertanian jagung. Setiap tahun, jumlah panen jagung di seluruh Kebumen mencapai 27.000 ton, sedangkan untuk Kecamatan Petanahan sendiri berkisar 3.262 ton.

Selain jagung, wilayah Kebumen bagian utara juga memiliki potensi pertanian singkong yang cukup luas. "Karenanya, kami mengharapkan agar pabrik ini tak hanya menggunakan bahan baku jagung, tetapi juga singkong. Dengan demikian, perekonomian masyarakat petani di Kebumen bisa meningkat," katanya.

Dikatakan Dani, setiap hari pabrik yang dikelolanya membutuhkan 5 ton jagung per hari atau 1.500 ton jagung setiap tahunnya. "Karena itu meskipun hanya berbasis UKM, pabrik kami dapat menyerap tenaga kerja hingga 1.200 orang dari kalangan petani. Sebaliknya tenaga kerja yang mengoperasionalkan pabrik hanya 23 orang, dan seluruhnya dari Kebumen," katanya.

Namun sejauh ini, menurut Direktur Marketing PT BPEM Sugeng Haryanto, produksi bio-ethanol masih dipasok untuk kebutuhan PT Pertamina karena kadarnya baru mencapai 85 sampai 90 persen. Setiap liternya dijual seharga Rp 5.500. "Setelah diolah di Pertamina, bio-ethanol itu akan menjadi bensin sekelas premium hingga pertamax," katanya.

Selain PT Pertamina, lanjutnya, PT BPEM juga mengolah bio-ethanol menjadi bensin siap pakai di dua unit pabrik serupa di Jakarta. "Dua unit pabrik di Jakarta sudah bisa mengolah bio-ethano menjadi bensin, namun kapasitas produksinya masih kecil sekitar 2.000 liter per hari," ujarnya.

Untuk bio-ethanol setara minyak tanah pun, menurut Sugeng, sebetulnya pihaknya sudah dapat memproduksinya. "Penggunaannya jauh lebih irit dibandingkan minyak tanah, dan bahkan kompornya pun sudah disediakan. Produknya berupa bio-ethanol gel. Penggunaan untuk setiap 200 cc bio-ethanol, setara dengan satu liter minyak tanah. Hanya hingga saat ini, kami masih menunggu ketetapan harga dari pemerintah," tuturnya.

Bioethanol Lebih Ekonomis

Bioethanol Lebih Ekonomis
Sumber: www.greenradio.fm

Bioethanol bisa dijadikan pengganti bahan bakar minyak. Selain hemat, pembuatannya bisa dilakukan di rumah sendiri dengan mudah. Anda pun akan mendapatkan nilai ekonomis dibandingkan menggunakan minyak tanah. Bila sehari menggunakan minyak tanah seharga Rp 16 ribu, maka dengan bioethanol Anda bisa berhemat Rp 4 ribu. Lebih ekonomis, bukan?

Pengalaman membuat dan menggunakan bioethanol ini diceritakan oleh Bambang Kisudono, warga kota Surabaya yang memanfaatkan sampah dapurnya untuk membuat dan mengembangkan bioethanol di lingkungannya.

Awalnya Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Institut Teknologi Surabaya (ITS) dari kajiannya menyimpulkan bahwa bioethanol dengan kompor khusus terbukti lebih efisien ketimbang kompor kerosin. Temuan ini membuat Bambang berinisiatif melakukan pengolahan bioethanol sendiri.

Sudah sekitar enam bulan, Bambang memakai bioethanol sebagai bahan bakar untuk kepentingan dapur rumah tangganya. Ia bisa berhemat sekitar Rp 4 ribu dibandingkan saat memakai bahan minyak tanah, yang seharinya mengeluarkan Rp 16 ribu.

”Untuk warga pedesaan, nilai rupiah itu bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain,” ujarnya.

Perbandingan penggunaan bioethanol dan minyak tanah adalah 1:3. Artinya dengan 3 liter minyak tanah, Anda hanya membutuhkan satu liter bio-ethanol. Dengan volume 100 cc akan membuat api menyala sekitar 30-40 menit.

Bambang menceritakan proses pembuatan bioethanol yang dilakukannya. Menurutnya, bahan baku bioethanol itu terbagi tiga. Bahan berpati, bahan bergula dan bahan selulosa. Bahan baku bergula, misalnya adalah tebu, nila, dan aren. Sedangkan bahan berpati, misalnya ubi kayu, sagu, jagung, biji sogun, dan kentang manis. Bahan ini umumnya dimakan oleh manusia.

”Oleh ITS disarankan pengembangan bioethanol itu tidak menggunakan bahan yang dimakan manusia. Hal itu agar tidak mengganggu ketahanan pangan nasional,” ujarnya.

Untuk penggunaan bahan baku berpati, Bambang memilih singkong yang tidak dimakan manusia, yaitu singkong yang beracun. Lalu, ia pun memanfaatkan limbah sagu dan bonggol jagung. Intinya adalah, ia menghindari bahan baku yang secara langsung dimakan manusia, dan memakai limbah dari bahan makanan tersebut.

”Proses pembuatan bioethanol itu tidak lama. Paling yang agak lama adalah proses peragian yang bisa mencapai 2-3 hari,” kata Bambang.

Bambang pun mulai menjelaskan langkah-langkah yang biasa ia lakukan, dalam membuat bioethanol. Singkong racun dan kulit pisang itu dihancurkannya, dan dijadikan bubur. Setelah hancur, bubur itu dicampur ragi agar menghasilkan glukosa. Proses ini akan menghasilkan bahan baku bergula.

”Nah, bahan bergula yang disebutkan tadi sebenarnya akan mempersingkat proses pembuatan bioethanol. Karena kita melewati proses penghancuran dan peragian itu,” jelasnya.

Setelah mendapatkan glukosa, kemudian dilanjutkan dengan proses fermentasi. Caranya, kembali memberikan ragi ke dalamnya. Dari proses ini maka diperolehlah bioethanol dengan kadar alkohol rendah. ”Setelah proses ini selesai, kita bisa segera memanfaatkannya sebagai bahan bakar untuk memasak,” pungkasnya.

Pelatihan Cara Memproduksi Bioetanol dari Singkong & Berbagai Macam Bahan yang lainnya

WORKSHOP BIOETHANOL DARI SINGKONG

BBM Langka ! Ada peluang usahaPeluang usaha pembuatan Bioetanol dari singkong sebagai pengganti BBM/ BENSIN & Biodisel dari minyak jelantah. Skala rumahan dan skala UKM. Anda dapat mengikuti Kursus & Pelatihan Cara produksi Bioethanol dari Singkong. Kursus & Pelatihan Cara Produksi Biodiesel dengan bahan baku minyak Jelantah.
Info: CV. Tristar Chemical.
Address: Jln Rungkut Mapan Utara CA 24 Surabaya.
Telp: 031-8708071 – 031-8794764-65

Mengapa kita perlu memproduksi Biodiesel & Bioetanol??- Harga minyak bumi yang terus meningkat - Solusi dalam menghadapi kelangkaan minyak bumi
- Bisa digunakan untuk energi alternatif pengganti SOLAR & BENSIN- Mengurangi polusi udara
-Memanfaatkan limbah minyak goreng/minyak jelantah sebagai bahan baku Biodisel
-Memanfaatkan limbah pasar, limbah pabrik gula, hasil pertanian sebagai bahan baku Bioetanol* Keuntungan yang Anda peroleh dari pelatihan Produksi BIODIESEL & BIOETANOL : - Formula & panduan mengenai cara produksi BIODIESEL & BIOETHANOL PROSES PELATIHAN : * Memberikan Pengetahuan sekilas mengenai BIODIESEL & BIOETANOL * Langsung PRAKTEK dan dijamin BISA * Seluruh bahan yang dibutuhkan untuk pelatihan sudah disediakan * Evaluasi selama Pelatihan dan ada sesi Tanya jawab sampai PUAS BIAYA PELATIHAN BIODIESEL Dari Minyak Jelantah : Rp 600.000,-/orang KURSUS BIOETHANOL DARI BAHAN BAKU SINGKONG. Biaya Rp 1.000.000,-/orang.

Bioetanol merupakan salah satu bahan bakar nabati yang
saat ini menjadi primadona untuk mengggantikan minyak bumi
yang harganya semakin meningkat dan kurang ramah lingkungan.
Bioetanol dapat diproduksi dari berbagai bahan baku yang banyak
terdapat di Indonesia, seperti singkong, tebu, aren, jambu mete, jagung, dan lain lain. Selain itu kita bisa juga memproduksi Bioethanol dari hasil pertanian yang tidak layak/tidak bisa dikonsumsi, dari sampah/limbah pasar, limbah pabrik gula : tetes/mollases, apapun yang mengandung karbohidrat & gula, dapat diproses menjadi bahan bakar /Biofuel.

Melalui proses sakarifikasi (pemecahan gula komplek menjadi gula sederhana), fermentasi, dan distilasi, tanaman-tanaman seperti Jagung, Tebu dan Singkong, limbah pasar, limbah pabrik gula: tetes/mollases dapat dikonversi menjadi bahan bakar.

Penggunaan bioetanol sebagai campuran BBM yang sudah ada
dapat mengurangi emisi karbon monooksida dan asap lainnya dari
kendaraan. Hal ini sudah dibuktikan oleh beberapa negara yang
sudah lebih dulu mengaplikasikannya, seperti Brazil danJepang.
Perkembangan bisnis bioetanol di Indonesia seharusnya
juga bisa menyamai kedua negara tersebut. Dengan melimpahnya
bahan baku, seharusnya kita bisa menggantikan sebagian
pemakaian BBM yang sudah semakin langka dengan bioetanol.
Selain untuk bahan bakar (Fuel Grade Ethanol), Bioethanol dapat digunakan untuk industri kimia, farmasi, kedokteran, kosmetik, bahan baku aneka minuman, dll.

Bertolak dari kondisi ini, CV. Tristar Chemical bermaksud untuk mengadakan pelatihan dengan tema
"Produksi Bioetanol sekala Rumahan/Home Industry ". Pelatihan ini merupakan sarana pengenalan bioetanol kepada masyarakat luas dan sekaligus menjadi sarana untuk transfer teknologi produksi bioetanol.
Sehingga diharapkan peluang bisnis bioetanol semakin terbuka dan
menguntungkan untuk dikembangkan.

KURSUS BIOETHANOL DARI BAHAN BAKU SINGKONG.
Biaya Kursus Privat Rp 1.000.000,-
Biaya Kursus Kolektif Rp 300.000,-/orang. Minimum 5 orang.